Arsip

Archive for the ‘news’ Category

Mari Makan Ikan Lele

Ibu Negara Ani Susilo Bambang Yudhoyono mengajak seluruh orang tua di Indonesia untuk mengenalkan ikan sebagai makanan terbaik untuk anak. Kandungan protein tinggi yang terdapat dalam ikan, bisa membantu meningkatkan kecerdasan anak.

“Kita harus mengenalkan ikan sejak dini kepada anak kita supaya mereka senang mengonsumsi ikan karena sumber protein yang dibutuhkan tubuh, khususnya otak. Pola berpikir kita harus diubah, bahwa ikan adalah makanan terbaik,” kata Ani Yudhoyono, saat membuka Festival Raya Lele Nusantara, di Jakarta, Sabtu (19/6).

Atas dasar itulah, Ibu Negara berjanji untuk mengajarkan cucunya yang baru semata wayang, Almira Tunggadewi Yudhoyono, untuk gemar makan ikan, khususnya lele, sejak dini “Saya punya cucu satu. Nanti sejak dini akan saya ajarkan gemar makan ikan lele. Tapi,nanti kalau usianya sudah mulai lima tahun,” kata Ny .Ani.

Kajian ilmiah membuktikan, ikan memiliki protein yang lebih tinggi ketimbang makanan lain. Sebagai gambaran, ikan bandeng memilki kandungan protein sebesar 21,7 persen, ikan lele 17 persen dan ikan mas 16 persen. “Tidak heran, kenapa orang Jepang terkenal cerdas, karena mereka senang mengonsumsi ikan sejak balita,” kata Ibu Negara.

Kondisi di negeri Sakura tersebut, berbanding terbalik dengan Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, masyarakat Indonesia termasuk yang paling rendah mengonsumsi ikan. Itu sangat ironis, jika melihat kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. “Dengan kondisi geografis seperti ini, seharusnya masyarakat Indonesia Iebih banyak lagi mengonsumsi hasil laut, terutama ikan yang banyak proteinnya,” katanya.

Ibu Negara memaklumi, bisa jadi belum banyaknya warga Indonesia makan ikan disebabkan karena ikan laut identik dengan harga yang mahal. Namun, itu bukan alasan untuk tidak mengonsumsi ikan. “Ikan air tawar pun tidak kalah enak dan murah. Ada ratusan jenis ikan air tawar yang layak untuk dikonsumsi, karena kita punya banyak sungai dan lainnya. Kita harus syukuri, bahwa kita dikasih Tuhan kekayaan alam yang luar biasa, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya, kata Ibu Negara.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad mengatakan, rata rata konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun lalu sekitar 10 kilogram per kepala. Itu masih jauh tertinggal dengan Malaysia yang masyarakatnya mengonsumsi Ikan sekitar 55,5 kg/kepala. “Adapun Jepang lebih tinggi lagi, sekitar 140 kg. kepala,” kata Fadel.

Fadel menegaskan, pihaknya menargetkan produksi ikan Iele sekitar 1 juta ton pada 2015 itu  paten ketimbang produksi tahun ini yang mencapai “ton. “Budidaya ikan lele dapat diusaha kan dalam drum atau gentong hingga dapat menjadi usaha produk.nilai gizi 1 peningkatan ketahanan pangan keluarga,* kata Fadel.

Dala kementerian Kelautandan Perikanan (KKP) menunjukkan, rata rata konsumsi lele tahun lalu mencapai 2,3 kg kepala. Hal itu meningkat ketimbang konsumsi tahun sebelumnya yang sekitar 0,67 kg kepala kita menargetkan produksi ikan lele sebesar KM) ton pada 014, meningkat sekitar persen ketimbang produksi tahun lalu yang mencapai M ton.

Menurut Fadel, meskipun lele masih dianggap sebagai ikan yang kurang menarik, namun budi daya ikan lele paling banyak diusahakan oleh umum meningkat dalam beberapa tahun terakhir “Budi daya ikan lele dapaltdi usahakan dalam drum atau gentong sehingga dapat menijadi alternatif usaha perbaikan gizi atau peningkatan kebutuhan pangan keluarga.” kata FadeL

Sumber : Jurnal Nasional 20 Juni 2010,hal.1

Kategori:news

Danau Sentani Dibeli dengan Satu Gelang dan Tiga Manik-Manik

Asal mula Danau Sentani tentunya belum banyak yang tahu bagi masyarakat Papua terlebih bagi masyarakat asli Sentani Kabupaten Jayapura. Namun, kita akan mengetahui dari balada berdurasi kurang lebih 45 menit yang ditampilkan sanggar tari Honong pimpinan Theo Yepese pada pembukaan Festival Danau Sentani (FDS) III, Sabtu (19/6) pekan lalu.

Seperti apa cerita terjadinya Danau Sentani?

Indonesia, merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai beragam suku dan budaya yang berbeda beda. Tentu, dengan keanekaragaman budaya tersebut, menyimpan berjuta cerita masa lampau (sejarah) yang diwariskan secara turun-temurun, sebut saja cerita tangkuban perahu, maling kundang, candi borobudur dan sebagainya.

Papua, termasuk salah satu ras di Indonesia yang paling unik dan juga memiliki jutaan cerita masa lalu, yang salah satunya adalah sejarah terjadinya Danau Sentani. Tarian Keping, yang mengisahkan rahasia awal terjadinya Danau Sentani dengan dimainkan sekitar 40 orang berkostum khas Papua itu, menguak kembali terjadinya Danau Sentani ke permukaan publik.

Hanya dengan sebuah harta karun berupa gelang Kristal (Heba), dan tiga biji manik-manik yang dalam bahasa suku Sentani disebut dengan Hawa, Hae dan Naro. Ondofolo (Kepala Suku) Walli bersama kerabatnya Hoboy, membeli air di penguasa pegunungan Robonsolo (Sekarang Cycloop) bernama Dobonay pada masa lalu, untuk meminta air bagi rakyatnya.

Ondoafi Wali dan Hoboi hidup di atas satu bukit yang disebut Yomokho di Kampung Donday, Sentani. Di atas bukit ini tidak ada air sebagai sumber kehidupan, maka Ondofolo bersama Hoboy naik ke Gunung Robonsolo untuk menghadap Dobonai, penguasa air dengan membawa sejumlah harta karun untuk membeli air.

Cerita berawal ketika masa lalu terjadi bencana kekeringan yang melanda seluruh daerah Sentani, dan berdampak pada kehidupan rakyat Sentani. Tak menunggu lama, Ondofolo langsung mengajak Hoboy untuk pergi membeli air keabadian (air yang tak pernah berhenti mengalir) kepada Dobonay di Gunung Robonsolo.

Air itupun dibeli dari Dobonay, yang pada saat itu pembayarannya dilakukan kepada kedua anak Dobonay, yakni Bukunbulu dan Robonway. Meski sempat terjadi kesalahan dalam pembayaran, tetapi saat itu permasalah tersebut dapat ditengahi oleh Dobonay. Setelah mendapat air, Ondofolo Wali bersama kerabatnya pulang ke rumah.

Sebelum pamit, Dobonay berpesan agar di perjalanan nanti, jika bertemu hewan jangan diburu. Sebab, jika dilanggar, akan terjadi cobaan bagi mereka berdua. Tetapi karena sifat manusia, aturan tersebut dilanggar, Ondofolo Wali dan Hoboi melupakan pesan Dobonay, justru keduanya memburu seekor hewan yakni burung Kasuari.

Sebuah tembakan anak panah dari Haboy berhasil mengenai sasaran, namun alangkah kagetnya kedua manusia itu, sebab burung kasuari tersebut langsung menghilang bersamaan dengan air keabadian yang dibawa oleh keduanya.

Bersamaan dengan peristiwa tersebut, datanglah sebuah air bah dan menghanyutkan semua benda-benda yang berada disekitar tempat tersebut, dan selanjutnya air bah itu membentuk telaga raksasa yang saat ini dikenal dengan Danau Sentani.
Kejadian ini harus dibayar mahal dengan tenggelamnya anak Ondofolo Wali. Namun keteguhan dan rasa bertanggung jawab kepada rakyatnya, sang Ondofolopun sempaty meratap berlama-lama atas kematian anaknya itu.

Namun, dirinya langsung mengajak seluruh rakyatnya untuk secara bersama-sama menyampaikan ucapan syakur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan pemberian telaga raksasa yang terbentang dari Nolobu (Timur) Kampung Yokiwa hingga Waibu (Barat) Kampung Doyo dan sekitarnya yang berada hingga saat ini.

Dengan peristiwa ini, Ondofolo Wali menyadari bahwa untuk memperoleh sesuatu yang baik harus ada pengorbanan, sekali pun itu adalah orang yang sangat dicintai.

Sumber : Kabar Indonesia

Kategori:news

Minat Makan Ikan Meningkat

Ikan lele dan belut asal Ciseeng. Bogor, Jawa Barat, diekspor ke Thailand dan Vietnam. Komoditas air tawar yang dibudida-yakan secara tradisional oleh masyarakat setempat itu terbukti diminati pasar luar negeri. Selain itu, minat makan ikan air tawar di kawasan Puncak, Bogor, akhir-akhir kian meningkat, seiring dengan gencarnya promosi makan ikan. “Ikan lele yang diekspor adalah ikan lele asap dan belut hidup serta abon belut. Pasar di Vietnam dan Thailand cukup besar,” kata Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor Sutrino di Cisarua, Bogor, Kamis (17/6).

Kemarin, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggelar pelatihan cara mengolah ikan lele, gurame, dan belut berstandar higienis. Pelatihan melibatkan 50 pengusaha rumah makan, restoran, dan warung makan kaki lima terpilih yang tersebar di sekitar kawasan Puncak, Jawa Barat.

Budi Lastono, food beveragemanager Safari Garden Hotel Restaurant Cisarua, Bogor, mengatakan, standar pengolahan ikan lele dan gurame serta belut di kawasan Puncak sudah memenuhi prinsip kebersihan dan kesehatan (higienis). Namun, pengelola rumah makan, restoran, dan warung tetap membutuhkan pelatihan. “Biar menjadi lebih baik, pengelolah mendapat pelatihan tambahan dari pakar makanan seperti dari IPB (Institut Pertanian Bogor),” kata Budi Lastono yang menyempatkan diri mengikuti pelatihan, kemarin.

Budi mengakui, minat masyarakat makan ikan kian meningkat yang ditandai dengan membanjirnya pengunjung atau wisatawan lokal ke kawasan Puncak untuk berwisata. Kawasan Puncak, lanjut Budi, dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata kuliner saat ini. “Akhir pekan banyak masyarakat asal Jakarta dan Bandung yang berwisata ke Puncak. Biasanya, permintaan ikan saat akhir pekan tinggi,” kata Budi, (jjr)

 Sumber : Investor Daily 18 Juni 2010 hal.30

Kategori:news

Aquaculture workshop coming to Menomonie

Menomonie (News Release) – The University of Wisconsin Stevens Point Northern Aquaculture Demonstration Facility (UWSP NADF), the University of Wisconsin Extension (UWEX) and the Wisconsin Aquaculture Association (WAA) are sponsoring three Beginning Aquaculture Workshops.  The first workshop will be held on Saturday, June 26, at Bullfrog’s Eat My Fish Farm, Menomonie, with registration starting at 8 am.  The workshop, which will run from 9:00 am to 3:00 pm, is tailored to introduce people to the Wisconsin Aquaculture Industry and provide an overview from a small business perspective on how to start and operate a fish farm.  Herby Radmann started Bullfrogs’ in the early 1990’s in what was a sandy farm field and since then it has grown to a well known trout farm, whose focus is raising “Smokin’ Good Trout” and being a part of the community through environmental sustainability. 

The workshop will begin with morning presentations and include sessions on: Wisconsin Aquaculture, Starting a Fish Farm, Economics/Business Planning and Rules & Regulations.  Participants will receive packets of information and a CD containing the presentations and economic worksheets.  The workshop will be conducted by Wisconsin’s three Aquaculture Specialists; Jim Held, Ron Johnson, and Sarah Kaatz.  Bullfrog’s famous “Hobo Chefin’ Shorelunch” will be provided and in the afternoon there will be a tour of the farm, giving participants the opportunity to see first hand how a fish farm operates and the ability to ask questions about the operation.  This workshop is part of an ongoing series that incorporates farms which specialize in pond culture and raceways, and is a unique opportunity to get an inside look at the business end of aquaculture. Wisconsin’s $14 Million aquaculture industry, comprising 125 business fish farms, is very diverse, consisting of farms raising fish for food, stocking, bait and recreational fee fishing.

Who should attend: Anyone with an interest in fish and who would like to find out what fish farming entails.  Emphasis will be placed on providing information that will help participants make informed decisions on the business of aquaculture.

Cost: The registration for the all day workshop is $35.00 per person and includes breaks, lunch, tour of the hosting fish farm, handout materials and a one year Associate Membership with WAA.

Online registration and brochure found at http://www.WisconsinAquaculture.com

Locations: June 26, Bullfrog’s Eat My Fish Farm, Menomonie; August 7, Coolidge Springs Trout Ranch, Fifield, and September 25, Woods & Waters Enterprises, Juneau.

Contacts: To register contact Cindy Johnson, Wisconsin Aquaculture Association, 715-373-2990 or email Cindy@WisconsinAquaculture.com . For additional information contact Ron Johnson, Aquaculture Outreach Specialist at 715-779-3189.

Kategori:news

Pemanfaatan SDI di Laut Arafura Sudah Overfishing

“Laut Arafura merupakan salah satu daerah penangkapan ikan yang sangat potensial dengan sumberdaya ikan utama ikan demersal di Indonesia bahkan Dunia. Saat ini, perairan tersebut merupakan salah satu daerah utama penangkapan ikan demersal di Indonesia, dimana dalam 3 dekade terakhir perkembangan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura semakin meningkat yang ditandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan dan armada perikanan yang beroperasi di perairan Arafura. Sementara, sejumlah perusahaan baru juga telah merencanakan untuk melaksanakan usaha penangkapan di perairan tersebut. Kendati demikian, dari hasil kajian para pakar menyatakan bahwa tingkat pemanfaatan Sumber Daya Ikan (SDI) di Laut Arafura saat ini sudah mencapai lebih dari 100%, atau dapat dikategorikan telah overfishing.

Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua, Ir. Astiler Maharadja, indikator terjadinya overfishing, antara lain ukuran udang yang ditangkap semakin kecil, serta makin lamanya waktu operasi penangkapan per trip maupun penurunan laba marjinal (profit margin). Dilain pihak, terjadinya overfsihing tersebut dapat dilihat dari penurunan produktivitas rata-rata hasil tangkapan, yang beberapanya disebabkan karena manajemen pengelolaan yang belum sempurna, lemahnya pengawasan maupun pengendalian dan penegakan hukum di laut terhadap kegiatan penangkapan serta tingginya intensitas kegiatan Ilegal fishing “Oleh sebab itu, guna merumuskan solusi dari permasalahan di atas, diperlukan langkah-langkah kebijakan untuk pengelolaan perikanan dalam rangka pemulihan sumberdaya ikan di laut Arafura menjadi lebih baik lagi, ”kata Astiler Mahardja Forum Koordinasi Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) WPP-RI 718 Laut Arafura, Senin (14/6).

Ditambahkan Astiler, agar pengelolaan dapat dilakukan secara benar dan terencana, maka diperlukan suatu wadah bersama yang akan mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan rencana pengelolaan perikanan di setiap daerah dan wilayah pengelolaan perikanan. Dalam kaitannya dengan hal ini, Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) dianggap penting sebagai suatu forum koordinasi yang telah dibentuk sebagai wadah bagi pengelola perikanan di daerah dan pusat termasuk unsur-unsur peneliti dan perguruan tinggi guna berkoordinasi melakukan pengelolaan sumberdaya ikan secara bersama, yang telah berjalan sejak tahun 1990 menjadi penting dan perlu di revitalisasi. Maka itu, pertemuan Koordinasi yang dilakukan selama 3 hari ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan dan kesepakatan pengelolaan sumberdaya diperairan arafura oleh tiga Provinsi yang terkait didalamnya, yaitu Provinsi Maluku, Provinsi Papua barat dan Provinsi Papua dalam mensinergikan dan mengintegrasikan pengelolaan secara bersama dengan tetap memperhatikan daya dukung sumberdaya yang tersedia bagi kesejahteraan masyarakat di waktu yang akan datang.

Sekedar diketahui, kegiatan Forum Koordinasi Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) WPP-RI 718 Laut Arafura ini dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Astiler Maharadja. Kegiatan yang dihadiri sekitar 30 pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten-Kota se- Provinsi Papua ini, akan digelar selama tiga hari di Hotel Aston Jayapura. Ketua Panitia Pelaksana, Petrus Sroyer dalam laporannya mengatakan, harapan kami melalui kegiatan ini, dapat membahas isu – isu penting serta solusinya terkait dengan upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP 718.

Sumber : Dinas KP Prop. Papua

Kategori:news

Indonesia Minta UE Turunkan Tarif BEA Masuk Produk Perikanan

Dalam rangka meningkatkan kerjasama antara Indonesia dengan Uni Eropa (UE) khususnya dibidang ekonomi, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, hari ini (16/6) menerima kunjungan Duta Besar UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Mr. Julian Wilson. Dalam kunjungan tersebut dibahas antara lain mengenai pengembangan dan peningkatan serta usaha untuk memperkuat kerjasama perdagangan khususnya pada akses pasar asal Indonesia ke UE serta prospek investasi produk kelautan dan perikanan di Indonesia. Selain itu menurut Fadel, pertemuan tersebut juga membahas mengenai tawaran bantuan teknis UE kepada Indonesia terkait dengan pemberlakuan catch sertification.

Kepada Dubes UE, Fadel Meminta agar UE menurunkan tarif bea masuk produk tuna asal Indonesia yang dirasakan masih terlalu tinggi. Saat ini, tarif bea masuk untuk tuna segar dan tuna kalengan adalah sebesar 12 dan 23 persen sehingga memberatkan eksportir asal Indonesia. Imbas dari tingginya tarif bea masuk tersebut membuat produk asal Indonesia kesulitan bersaing dengan produk yang sama dari negara lain. Menanggapi permintaan tersebut, Dubes UE menyatakan akan melihat kemungkinan penurunan tarif melalui skema Generalized System of Preference (GSP).

Kerjasama bilateral antara Indonesia – Uni Eropa didasari pada Partnership and Cooperation Agreement (PCA) yang ditandatangani pada 9 November 2009. Dalam kesepakatan tersebut berisi mengenai peningkatan hubungan bilateral, dan merupakan payung kerjasama antara kedua pihak. Naskah PCA terdiri terdiri atas 7 Bab dan 50 Pasal yang mencakup kerjasama dalam berbagai bidang seperti politik, sosial, ekonomi, perdagangan dan investasi.

Kunjungan Dubes UE tersebut juga dimanfaatkan Fadel untuk mempromosikan produk perikanan Indonesia yang diharapkan dapat meningkatkan ekspor produk perikanan ke negara tersebut. Sebagai ilustrasi, neraca perdagangan produk perikanan Indonesia dengan UE masih menunjukkan surplus. Volume dan nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke UE pada tahun 2009 masing-masing sebesar  74,67 ribu ton dan US$ 296,31 juta. Sebaliknya volume dan nilai ekspor produk perikanan UE yang masuk ke Indonesia pada tahun yang sama masing-masing sebesar 3.78 ribu ton dan US$ 4,58 juta.

         
Sumber : Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi

Kategori:news

Fishindo Ekspor 6 Ribu Ton Tuna

PT Fishindo Lintas Samudera mengekspor 6 ribu ton tuna ke Iran tahun ini. Permintaan tuna loin ke Timur Tengah meningkat, dan Iran tercatat sebagai salah satu negara tujuan ekspor dengan permintaan tak terbatas.

“Berapapun yang kita ekspor pasti terserap. Iran menjadi salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang suka makan ikan tuna,” kata Dirut PT Fishindo Lintas Samudera Nanang Soengkono kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (15/6).

Nanang mengakui kemampuan memasok tuna loin ke Iran sebesar 6 ribu ton tahun ini sebenarnya kurang dari volume yang dibutuhkan Iran. Negara itu, kata Nanang, membutuhkan tuna loin tanpa batas, yang menandakan komoditas laut itu benar-benar diminati. Pada tahun 2009 ekspor Fishindo ke Iran baru mencapai 2 ribu ton, dari sebelumnya, tahun 2008 1.000 ton. Selain tuna jenis loin, Fishindo juga memasok cakalang ke Timur Tengah dengan volume bervariasi untuk setiap negara.

Menurut Nanang, negara-negara kawasan itu, termasuk Iran, mulai meminati produk perikanan siap saji, sehingga permintaan ikan pada umumnya maupun tuna khususnya dalam bentuk mentah (fresh) perlahan berkurang.

“Sekarang kita memasok dalam bentuk siap saji atau setengah jadi dengan kemasan kaleng. Itu berarti ekspor mentah perlahan berkurang. Semua standar produk sudah sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dua pihak,” jelas Nanang.

Nanang menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan eksportuna loin ke Iran, Fishindo lintas Samudera yang memiliki pabrik di Benoa, Bali, itu harus membeli tuna segar dari sejumlah daerah nelayan, khususnya bagian Timur Indonesia. Tuna yang dibeli selanjutnya diproduksi di Benoa, Bali, dengan spesifikasi produk dan standar pangan yang disepakati keduanegara. Prosedur pemeriksaan dan pengujian standar mutu pangan yang diterapkan Iran dan negara Timur Tengah lainnya diakui tidak terlalu ketat dibanding AS maupun Eropa.

Namun demikian, kata Nanang, pihaknya tetap memprioritaskan standar mutu dan kesehatan (higienis) agar tidak berdampak negatif terhadap kinerja perseroan. “Sebab, jika tidak sesuai stan-dar pangan negara tujuan, semua biaya ekspor dan produksi ditanggung kita,” jelas Nanang. Dia mengakui, pabrik di Benoa berkapasitas produksi 10 ton tuna atau cakalang setiap hari. Kebutuhan terhadap ikan tersebut dipasok dari sejumlah daerah, khususnya dari kawasan timur Indonesia.

Perluas Pasar Sebelumnya, Direktur Pemasaran Luar Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Parilian Hutagalung mengakui, nilai ekspor produk perikanan ke Timur Tengah kian meningkat. Periode Januari 2010 hingga Maret 2010 nilai ekspor ikan Indonesia ke pasar Timur Tengah melonjak 35% dibanding periode yang sama tahun lalu. Peningkatan ekspor itu dipicu meningkatnya permintaan produk perikanan di kawasan itu, menyusul gencarnya promosi yang digelar pemerintah dan swasta Indonesia.

“Kawasan Timur Tengah tergolong pasar baru yang dibidik Indonesia. Tapi, permintaan ikan terus meningkat, dan kita akan terus perluas pasar dan meningkatkan volume,” kata Direktur Pemasaran Luar Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Parulian Hutagalung (Investor Daily 14/6).

Secara nasional total nilai ekspor produk perikanan periode Januari 2010-Maret 2010 mencapai 621,8 juta dolar AS, meningkat dari 577,2 juta dolar AS tahun 2009. Sedangkan nilai ekspor ke kawasan Timur Tengah pada Januari 2010-Maret 2010 mencapai 22,3 juta lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu di level 16,4 juta dolar AS.

Sementara itu, di tahun 2008 (total setahun) nilai ekspor ke kawasan Timur Tengah tercatat 46 juta dolar AS, naik 39,6% menjadi 63 juta dolar AS tahun 2009. Negara-negara tujuan ekspor Indonesia meliputi Arab

Saudi yang mencatat nilai impor ikan asal Indonesia per tahun menacapai 37-48 juta dolar AS, Mesir 6-9 juta dolar AS, dan Iran 1,6-3,1 juta dolar AS.

Menurut Saut, permintaan atas produk tuna khususnya pre-cooked\d\n, bandeng, cattle 6sh (cumi-cumi, octopus), dan lobster kian meningkat. Saat ini, pembahasan dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk beberapa produk perikanan sedang berlangsung.

Dia menjelaskan, permintaan terhadap produk perikanan RI selain untuk dikonsumsi secara lokal di sana, namun juga demi memasok kebutuhan pelayaran kapal-kapal wisata dan kapal pelayaran internasional lainnya di kawasan itu.

“Yang memasok produk perikanan ke kapal-kapal adalah supermarket di sana, sementara supermarket mengimpor dari kita,” jelas Saut.

Sejumlah produk perikanan Tanah Air yang diminati Timur

Tengah meliputi tuna beku, pre-cooked tuna loin, udang beku, ikan hias, kerupuk ikan, cumi-cumi, lobster, bandeng, dan ikan olahan yang kering. Negara-negara Timur Tengah yang mengimpor produk perikanan kita antara lain, Arab Saudi, Yordania, Yaman, Uni Emirat Arab, serta Iran.

Pelaku usaha swasta, kata Saut, juga makin banyak yang menjajaki pasar Timur Tengah yang sekaligus didukung promosi oleh KBRI di negara-negara kawasan itu.

Eropa dan AS

Menurut Nanang, selain memperluas pasar ekspor ke Timur Tengah yang tergolong baru, pihaknya tetap fokus mempertahankan pasar Eropa dan Amerika Serikat (AS). Produk perikanan Indonesia seperti tuna, cakalang, lobster, udang, dan bandeng tetap diminati di Eropa dan AS. Awal tahun ini, kata Nanang, Fishin-do Lintas Samudera mengekspor 150 ton tuna loin ke Belanda sebagai uji coba.

“Satu-satunya negara di Eropa yang suka bandeng adalah Rusia. Amerika membutuhkan udang dan lobster, namun standar mutunya ketat Kami akan tetap fokus juga di AS dan Eropa,” kata Nanang.

Dia mengakui, sejalan dengan upaya perluasan pasar khususnya ke Timur Tengah, penerapan bea masuk yang berkisar 25-40% bisa menjadi hambatan. Pasalnya, produk perikanan dipastikan kalah bersaing dibanding produk serupa dari Thailand, Filipina, dan Vietnam.

Belum lama ini, mantan Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) periode 2006-2010 Shidiq Moeslim belum lama ini menegaskan produk perikanan Tanah Air harus memiliki daya saing tinggi. Daya saing, kata Shidig, tidak terlepas dari praktik ekonomi industri peri-kanan yang dipastikan harus murah atau setidaknya tidak tergolong ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

“Sangat ironis kalau kita mengaku menjadi produsen terbesar ikan dunia, tapi biaya ekspor kita jauh lebih mahal dari Thailand atau Filipina. Itu berarti industri ekonomi perikanan kita masuk kategori high cost economy. Dengan begitu kita tak punya daya saing,” jelas Shidiq.

Shidiq berharap, upaya pemerintah memperluas pasar ekspor harus berjalan bersamaan dengan upaya memangkas praktik ekonomi biaya tinggi.

“Daya saing terletak pada biaya ekonomi industri. Kalau biaya ekonomi industri perikanan kita rendah, kita punya daya saing tinggi, begitu juga sebaliknya. Percuma, kalau produksi ikan kita nomor I, tapi biaya ekspor kita lebih mahal 1,5 kali dibanding Thailand. Ini ironis,” tegas Shidiq.



Sumber : Investor Daily

Kategori:news

Scientists create GM ‘Frankenfish’ which grows three times as fast as normal salmon

Scientists have created a GM ‘monster’ salmon which could soon be on dinner tables around the world.

The fish can grow two to three times faster than normal – meaning they can be killed at a younger age to maximise profits.

A U.S. company claims it has been given initial approval by American safety authorities for producing the salmon, which converts feed to muscle much more quickly.

Supersized: A genetically modified salmon compared to a normal fish. A U.S. company claims it has approval to produce the GM version

British scientists have also been working on genetically modified versions of tilapia fish and edible carp.
However, critics of GM food fear the technology will lead to the creation of mutant species and could harm wild fish populations if they escape.

Research on GM trout in Canada found that while they grew faster and were much bigger, a number developed misshapen heads and bloated bodies.
While they grew many times larger than the wild species, they were likely to die before maturity and suffered unforeseen changes in their heads and bodies.

Genetic engineers at Aqua Bounty, a company based in Waltham, Massachusetts, are manipulating fish growth hormones to make the GM salmon grow more quickly.
This involves taking genes from the ocean pout and the chinook salmon. These trigger the release of growth hormone in the GM fish during their development.
One year after the salmon eggs hatch, those that have been genetically modified reach an average of 1,340g, compared to 663g for the ordinary Atlantic salmon.
The AquaAdvantage salmon reach a marketable size in 18-24 months, as opposed to 30 months for the normal variety.

Aqua Bounty claims it is part of ‘The Blue Revolution’  and says its mission is to ‘bring together biological sciences and molecular technology to enable an aquaculture industry capable of large-scale, efficient, and environmentally sustainable production of high quality seafood.’
Supporters of GM crops have always argued that there are no significant differences with crops bred through conventional means.

Aqua Bounty takes the same view of its ‘Frankenfish’.
Chief executive, Ron Stotish, said: ‘In every measurement and every respect, these fish are identical to Atlantic salmon.’

The firm hopes U.S. veterinary authorities will approve its GM salmon eggs for this year’s breeding season. In theory, the fish would then go into stores and restaurants by 2012.
It seems likely a pack of GM salmon would have to be identified on the label in a supermarket.
However, there is no requirement to label GM fish on restaurant menus, which means people may consume the salmon without realising.

The campaigning consumer and green group GM Freeze is concerned about the arrival of GM fish.
Its director, Pete Riley, said: ‘We are extremely concerned about the potential for these fish to escape.
‘If these fish are growing at twice the rate they’re supposed to be, there may be other things wrong with them.’
Aqua Bounty says there is no danger of its fish cross mating with wild fish because only female eggs that have been treated to ensure they are sterile will be created.

Sumber : Aquaculture News

Kategori:news

NOAA Opens Fishing Area In Gulf

US – NOAA has opened 339 square miles of previously closed fishing area off the Florida panhandle – the northern boundary now ends at the Florida federal-state water line on the east side of Choctawhatchee Bay.

This area was initially closed on June 5 as a precaution because oil was projected to be within the area over the next 48 hours. However, the review of satellite imagery, radar and aerial data indicated that oil had not moved into the area.

The federal closed area does not apply to any state waters. Closing fishing in these areas is a precautionary measure to ensure that seafood from the Gulf will remain safe for consumers.

The closed area now represents 78,264 square miles, which is approximately 32 per cent of Gulf of Mexico federal waters. This leaves approximately 68 per cent of Gulf federal waters available for fishing.

The last closed area modification was June 5, when 78,603 square miles were closed to fishing, or roughly 33 per cent of federal waters of the Gulf.

Federal and state governments have systems in place to test and monitor seafood safety, prohibit harvesting from affected areas and keep oiled products out of the marketplace. NOAA continues to work closely with the U.S. Food and Drug Administration and the states to ensure seafood safety, by closing fishing areas where tainted seafood could potentially be caught, and assessing whether seafood is tainted or contaminated to levels that pose a risk to human health. NOAA and FDA are implementing a broad-scaled seafood sampling plan. The plan includes sampling seafood from inside and outside the closure area, as well as market-based sampling.

Sumber : TheFishSite News Desk
Kategori:news

Maluku Jadi Lumbung Perikanan

Pemerintah akan menjadikan Maluku sebagai lumbung perikanan nasional. Pencanangan tersebut akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat puncak pelaksanaan Sail Banda 2010 mendatang. Pencanangan ini sekaligus untuk mendukung kemajuan pembangunan nasional khususnya di wilayah Indonesia bagian Timur.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengatakan, potensi perikanan di Maluku dan Maluku Utara sangat besar. Sehingga pemerintah berencana menjadikan daerah tersebut sebagai pusat penghasil ikan. “Akan diresmikan langsung Presiden 3 Agustus mendatang,” kata Agung usai rapat koordinasi tingkat menteri membahas Sail Banda 2010 di Jakarta, kemarin (11/6).

Mengenai persiapan Sail Banda, mantan ketua DPR ini mengatakan, sudah mencapai 90 persen. Rencananya, panitia pelaksana dari pusat akan meninjau langsung kesiapan Sail Banda akhir bulan ini. Agung mengatakan, dalam pelaksanaan acara yang diikuti puluhan perwakilan negara ini menghabiskan dana Rp I6I miliar. Dana tersebut berasaldari sejumlah kementerian dan lembaga yang terlibat dalam pelaksanaannya. “Diharapkan lewat ajang internasional ini, citra Maluku seagai daerah yang aman, damai, dan sejahtera bisa terwujud,” ungkapnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menambahkan, potensi hasil laut di Maluku sekarang ini bisa mencapai 13-1,4 juta ton per hari. Hanya, pemanfaatannya hingga kini belum maksimal. Setiap han baru mencapai 200 ribu ton. “Dengan pencangan sebagai lumbung perikanan nasional, maka potensi yang diharapkan mencapai 11 juta per hari pada 2011 mendatang,” tukasnya (edi)

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Kategori:news